AKTIVIS NU, KITA
JAWAB TANTANGAN ZAMAN
Oleh: Abu Zein Fardany
"Saya minta YanG belum NU, masuklah NU. Yang sudah masuk NU, mantablah di NU" (Gus Mus)
Berbincang dengan beberapa aktivis organisasi Islam terbesar; Nahdlatul Ulama saya menangkap ada semacam "kegelisahan" menghadapi kenyataan umat Islam di Nusantara, dimana sebagian besarnya warga NU, dalam menyikapi era milenial.
Kemudahan akses informasi yang tidak dihadapi dengan kemampuan filterisasi dan analisa yang baik membuat tidak sedikit umat Islam terjebak dalam perangkap "filter bubble" alias gelembung saringan.
Sebagai algoritma dunia internet, filter bubble menyaring secara otomatis ragam informasi hanya pada apa yang pernah kita sukai sebelumnya. Tak banyak pengguna internet yang mengerti bahwa internet senantiasa menyimpan apa yang pernah kita kunjungi dan kelak menawarkan kepada kita informasi yang senada atau terkait dengannya.
Kenapa harus ada filter bubble?
Karena penyedia informasi berkepentingan atas keberlangsungan hidupnya dengan menyajikan iklan. Algoritma ini memudahkan pemasang iklan menyasar pasarnya.
Algoritma ini akhirnya menciptakan sebuah "gelembung besar" yang membuat seseorang terisolasi secara intelektual. Maksudnya, ketika seseorang tak pernah melihat sudut pandang berbeda dari orang lain, maka kemungkinan ia untuk berlarut-larut dalam pandangannya sendiri sangat besar. Karena ragam informasi yang disajikan kepadanya hanya seputar pada apa yang sesuai dengannya.
Efek buruk dari filter bubble ini adalah membuat korban semakin terisolasi tanpa disadari dan malah korban merasa semakin banyak tahu dan benar. "Jahil Murakkab" istilah Arabnya.
Sementara, dunia dakwah internet sejauh ini dikuasai kelompok Islam yang secara manhaj berbeda dengan NU. Secara massif, baik melalui media tulis (web) maupun gambar dan video mereka menyampaikan ide, ajaran, paham, dan doktrinnya. Sedikit demi sedikit, tanpa sadar, para pengguna internet masuk dalam pengaruh mereka. Kemampuan membangkitkan emosi (baca: ghiroh) identitas, khususnya identitas keagamaan, membuat orang mudah terbuai dan menikmati sajian mereka. Umat Islam mana yang tidak tertarik bila ada gerakan yang mengatasnamakan dirinya Islam? Pelan-pelan, brain wash (cuci otak) terjadi. Dari yang semula hanya sebatas penyimak biasa meningkat ke mengagumi. Dari mengagumi menjadi mencintai. Dari mencintai lahirlah mengikuti.
Ini tidak terbatas pada kalangan awam agama. Tapi bahkan pada mereka yang selama ini dididik dalam dunia pesantren. Tidak sedikit para alumni pesantren merasa "menemukan" Islam setelah kenal dengan dunia internet. Mereka dipertemukan dengan orang-orang yang tampilan Islamnya lebih baik dalam pandangan matanya dibanding sahabat dan temannya selama ini. Mereka merasa diperkenalkan dengan pemahaman yang lebih Islami dibanding apa yang mereka jalani selama ini. Algoritma pun bermain, mereka disuguhi banyak informasi yang terkait dengannya. Akibatnya, mereka terdoktrin, inilah yang seharusnya kita lakukan dalam beragama. Akhirnya, tanpa kemampuan filterisasi yang baik, analisa yang tajam, hoax dan post-truth pun ditelan. Alasannya, yang penting bela agama.
Doktrin semacam ini makin hari makin tertanam. Efeknya, timbullah perubahan dalam pemikiran. Bergeserlah paham yang selama ini dianut, berdasarkan teladan dan ajaran para masyaikh yang muttashil, digantikan paham baru yang lebih menonjolkan semangat keislaman, baik secara tampilan, pemikiran maupun harakah (gerakan). Tertinggallah paham-paham dan manhaj para guru besar (masyaikh) menjadi sebuah kenangan. Sikap tasaamuh, tawaasuth, dan tawaazun pun tergantikan. Muncul sikap baru yaitu mudah menuduh sesat dan mengkafirkan.
Inilah yang kemudian mengundang lahirnya semacam "kegelisahan" di kalangan aktivis NU. Karena bila dibiarkan, lama-lama paham dan manhaj para masyaikh akan hilang. NU harus bangkit menjawab tantangan zaman.
Sejatinya, menurut penulis, ini hanya pengulangan sejarah silam.
Mari kita buka lembaran lama. Pada saat didengungkannya semangat keislaman yang melahirkan kongres umat Islam pertama tahun 1922, gairah dan semangat lahir dari berbagai kalangan umat Islam. Namun semangat tersebut malah melahirkan ucapan dan tuduhan syirik dan mengkafirkan yang dituduhkan kepada kalangan Islam tradisionalis. Tuduhan dan serangan ideologi yang membuat KH. Abdul Wahhab mengusulkan kepada Hadhratus Syaikh Hasyim Asy'ari agar membuat sebuah gerakan. Namun kala itu beliau masih belum setuju dan memilih bertahan.
Tahun 1924 di dunia internasional terjadi sebuah peristiwa besar, khilafah Utsmaniah di Turki resmi dihapuskan. Peristiwa yang mengundang reaksi umat Islam sedunia, tak terkecuali di Nusantara. Menanggapi peristiwa ini maka pada tahun 1925 umat Islam di Nusantara kembali melakukan kongres. Keruntuhan Turki Utsmani yang semakin memperkokoh gerakan Wahhabi membuat kalangan Islam tradisional beraksi dan dalam kongres mengusulkan agar mengirim delegasi ke Ibnu Saud untuk meminta jaminan atas praktik (baca : amaliah) Islam tradisional, khususnya di tanah Hijaz. Sayangnya, kongres yang dikuasai mereka yang berbeda paham tidak mengakomodir keinginan para kyai tradisional ini. Akhirnya, 31 Januari 1926, para kyai tradisional membentuk gerakan sendiri yang dinamai "Komite Hijaz". Peristiwa inilah yang kemudian diperingati sebagai hari lahirnya NU.
Dari sejarah ini kita bisa belajar, bahwa NU adalah ormas yang lahir untuk menjawab tantangan. Nahdlatul Ulama atau bila kita terjemahkan bermakna "Kebangkitan Ulama" adalah sikap bangkitnya para ulama ketika paham dan manhaj mereka diserang, dituduh bid'ah dan syirik. Bahkan ulamanya dicap sesat dan dikafirkan.
Penting dicatat bahwa NU lahir bukan sebagai ormas yang lebih dahulu aktif menyerang, tapi hanya sebatas menjawab tantangan. Ulama NU berpegang pada prinsip baginda Rasulullah shallallahu 'alaih wa aalih wa sallam yang selalu mengalah dan baru menjawab tantangan setelah dapat izin berperang.
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu.” (Qs. Al-Hajj : 39).
Kini, tantangan itu telah sedemikian massif. Tidak hanya di dunia nyata sebagaimana dihadapi para pendiri NU, tapi juga di dunia maya. Karenanya, NU harus bangkit menjawab tantangan, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.
Mari para aktivis NU, kita ulang kembali sejarah silam... Di era milenial saat ini, kita jawab tantangan zaman.
Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamith Thoriiq
Oleh: Abu Zein Fardany
"Saya minta YanG belum NU, masuklah NU. Yang sudah masuk NU, mantablah di NU" (Gus Mus)
Berbincang dengan beberapa aktivis organisasi Islam terbesar; Nahdlatul Ulama saya menangkap ada semacam "kegelisahan" menghadapi kenyataan umat Islam di Nusantara, dimana sebagian besarnya warga NU, dalam menyikapi era milenial.
Kemudahan akses informasi yang tidak dihadapi dengan kemampuan filterisasi dan analisa yang baik membuat tidak sedikit umat Islam terjebak dalam perangkap "filter bubble" alias gelembung saringan.
Sebagai algoritma dunia internet, filter bubble menyaring secara otomatis ragam informasi hanya pada apa yang pernah kita sukai sebelumnya. Tak banyak pengguna internet yang mengerti bahwa internet senantiasa menyimpan apa yang pernah kita kunjungi dan kelak menawarkan kepada kita informasi yang senada atau terkait dengannya.
Kenapa harus ada filter bubble?
Karena penyedia informasi berkepentingan atas keberlangsungan hidupnya dengan menyajikan iklan. Algoritma ini memudahkan pemasang iklan menyasar pasarnya.
Algoritma ini akhirnya menciptakan sebuah "gelembung besar" yang membuat seseorang terisolasi secara intelektual. Maksudnya, ketika seseorang tak pernah melihat sudut pandang berbeda dari orang lain, maka kemungkinan ia untuk berlarut-larut dalam pandangannya sendiri sangat besar. Karena ragam informasi yang disajikan kepadanya hanya seputar pada apa yang sesuai dengannya.
Efek buruk dari filter bubble ini adalah membuat korban semakin terisolasi tanpa disadari dan malah korban merasa semakin banyak tahu dan benar. "Jahil Murakkab" istilah Arabnya.
Sementara, dunia dakwah internet sejauh ini dikuasai kelompok Islam yang secara manhaj berbeda dengan NU. Secara massif, baik melalui media tulis (web) maupun gambar dan video mereka menyampaikan ide, ajaran, paham, dan doktrinnya. Sedikit demi sedikit, tanpa sadar, para pengguna internet masuk dalam pengaruh mereka. Kemampuan membangkitkan emosi (baca: ghiroh) identitas, khususnya identitas keagamaan, membuat orang mudah terbuai dan menikmati sajian mereka. Umat Islam mana yang tidak tertarik bila ada gerakan yang mengatasnamakan dirinya Islam? Pelan-pelan, brain wash (cuci otak) terjadi. Dari yang semula hanya sebatas penyimak biasa meningkat ke mengagumi. Dari mengagumi menjadi mencintai. Dari mencintai lahirlah mengikuti.
Ini tidak terbatas pada kalangan awam agama. Tapi bahkan pada mereka yang selama ini dididik dalam dunia pesantren. Tidak sedikit para alumni pesantren merasa "menemukan" Islam setelah kenal dengan dunia internet. Mereka dipertemukan dengan orang-orang yang tampilan Islamnya lebih baik dalam pandangan matanya dibanding sahabat dan temannya selama ini. Mereka merasa diperkenalkan dengan pemahaman yang lebih Islami dibanding apa yang mereka jalani selama ini. Algoritma pun bermain, mereka disuguhi banyak informasi yang terkait dengannya. Akibatnya, mereka terdoktrin, inilah yang seharusnya kita lakukan dalam beragama. Akhirnya, tanpa kemampuan filterisasi yang baik, analisa yang tajam, hoax dan post-truth pun ditelan. Alasannya, yang penting bela agama.
Doktrin semacam ini makin hari makin tertanam. Efeknya, timbullah perubahan dalam pemikiran. Bergeserlah paham yang selama ini dianut, berdasarkan teladan dan ajaran para masyaikh yang muttashil, digantikan paham baru yang lebih menonjolkan semangat keislaman, baik secara tampilan, pemikiran maupun harakah (gerakan). Tertinggallah paham-paham dan manhaj para guru besar (masyaikh) menjadi sebuah kenangan. Sikap tasaamuh, tawaasuth, dan tawaazun pun tergantikan. Muncul sikap baru yaitu mudah menuduh sesat dan mengkafirkan.
Inilah yang kemudian mengundang lahirnya semacam "kegelisahan" di kalangan aktivis NU. Karena bila dibiarkan, lama-lama paham dan manhaj para masyaikh akan hilang. NU harus bangkit menjawab tantangan zaman.
Sejatinya, menurut penulis, ini hanya pengulangan sejarah silam.
Mari kita buka lembaran lama. Pada saat didengungkannya semangat keislaman yang melahirkan kongres umat Islam pertama tahun 1922, gairah dan semangat lahir dari berbagai kalangan umat Islam. Namun semangat tersebut malah melahirkan ucapan dan tuduhan syirik dan mengkafirkan yang dituduhkan kepada kalangan Islam tradisionalis. Tuduhan dan serangan ideologi yang membuat KH. Abdul Wahhab mengusulkan kepada Hadhratus Syaikh Hasyim Asy'ari agar membuat sebuah gerakan. Namun kala itu beliau masih belum setuju dan memilih bertahan.
Tahun 1924 di dunia internasional terjadi sebuah peristiwa besar, khilafah Utsmaniah di Turki resmi dihapuskan. Peristiwa yang mengundang reaksi umat Islam sedunia, tak terkecuali di Nusantara. Menanggapi peristiwa ini maka pada tahun 1925 umat Islam di Nusantara kembali melakukan kongres. Keruntuhan Turki Utsmani yang semakin memperkokoh gerakan Wahhabi membuat kalangan Islam tradisional beraksi dan dalam kongres mengusulkan agar mengirim delegasi ke Ibnu Saud untuk meminta jaminan atas praktik (baca : amaliah) Islam tradisional, khususnya di tanah Hijaz. Sayangnya, kongres yang dikuasai mereka yang berbeda paham tidak mengakomodir keinginan para kyai tradisional ini. Akhirnya, 31 Januari 1926, para kyai tradisional membentuk gerakan sendiri yang dinamai "Komite Hijaz". Peristiwa inilah yang kemudian diperingati sebagai hari lahirnya NU.
Dari sejarah ini kita bisa belajar, bahwa NU adalah ormas yang lahir untuk menjawab tantangan. Nahdlatul Ulama atau bila kita terjemahkan bermakna "Kebangkitan Ulama" adalah sikap bangkitnya para ulama ketika paham dan manhaj mereka diserang, dituduh bid'ah dan syirik. Bahkan ulamanya dicap sesat dan dikafirkan.
Penting dicatat bahwa NU lahir bukan sebagai ormas yang lebih dahulu aktif menyerang, tapi hanya sebatas menjawab tantangan. Ulama NU berpegang pada prinsip baginda Rasulullah shallallahu 'alaih wa aalih wa sallam yang selalu mengalah dan baru menjawab tantangan setelah dapat izin berperang.
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu.” (Qs. Al-Hajj : 39).
Kini, tantangan itu telah sedemikian massif. Tidak hanya di dunia nyata sebagaimana dihadapi para pendiri NU, tapi juga di dunia maya. Karenanya, NU harus bangkit menjawab tantangan, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.
Mari para aktivis NU, kita ulang kembali sejarah silam... Di era milenial saat ini, kita jawab tantangan zaman.
Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamith Thoriiq
0 Komentar